
Taufik Abriansyah telah menyelesaikan perjalanan bersepeda (gowes) dari Bandung Barat ke Merauke, sempat konflik batin gara-gara bantuan untuk makan atupun minum kopi. Di Merauke, di sebelah warung nasi Padang tempat ia makan, ada tukang cukur rambut dan ia pun mampir untuk mencukur rambut, merayakan keberhasilannya, seperti halnya yang ia lakukan setelah sukses gowes ke Sabang.
“Om minta maaf. Ini hari pertama sa buka usaha potong rambut,” kata tukang cukur rambut dari Maumere yang berusia 25 tahun. Taufik yang sudah duduk dan pesan potong pendek pun rada waswas, tapi tak mungkin ia urungkan pangkas rambut.
Selama perjalanan Bandung Barat ke Merauke, baru di depan tukang cukur inilah Taufik merasa waswas. Saya jadi teringat cerita Ernest Hemingway yang bukan lagi waswas ketika harus cukur jenggot di tukang cukur pemula, tapi perlu keberanian.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Menempuh perjalanan bersepeda jarak jauh sungguh memerlukan keberanian. Apalagi Taufik melakukannya sendiri.
Godaan ingin pulang di tengah perjalanan tentu saja ada, tapi lima acara pelepasan sebelum berangkat menjadi pemacu semangatnya. “Malu kalau belum separuh jalan sudah pulang,” kata Taufik.
Ia dilepas oleh Ketua DPRD Kabupaten Bandung Barat, oleh Dekan Fikom Unpad, oleh Ketua Umum PWI Pusat, oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Pinewood. Pas di hari keberangkatan, ia dilepas oleh warga kompleks rumah bersama Federal Kota Cimahi (Fedkoci).
Saya cukup iri dengan Taufik, yang dalam dua bulan bisa menyelesaikan buku catatan perjalanannya bersepeda jarak jauh ini. Selama perjalanan, ia bisa konsisten menuliskan pengalamannya.
Saya pernah ikut ekspedisi selama tiga bulan, baru bisa menulis lengkap setelah pulang dari ekspedisi. Taufik selalu membuat catatan lima momen yang ia alami atau temukan selama perjalanan gowes.
Setelah beristirahat, ia lalu menuliskannya secara lengkap. Tiap pagi, tentu saja wajib minum kopi dan kadang siang pun harus pesan kopi. Kopi, kata Taufik diperlukan sebagai energi, sehingga terkumpul 56 tulisan yang kemudian ia bukukan begitu tiba di Bandung.
“Lebih dari lima momen, pasti ada yang lupa karena faktor usia,” kata Taufik di Jakarta, Rabu (6/8/2025). Buku yang diterbitkan Kiblat, Agustus 2025 ini, diluncurkan di kantor PWI Pusat di Jakarta, pada Rabu (6/8/2025). “PWI Pusat melepas keberangkatan Taufik, kini menyambut kepulangan Taufik dengan peluncuran buku,” kata Budi Nugraha, ketua panitia peluncuranm buku.
Ketua PWI Pusat Hendry CH Bangun memuji catatan taufik yang begitu rinci, selayaknya laporan jurnalistik. “Catatan Taufik berhasi menangkap suasana batin masyarakat,” kata Hendry.
Peluncuran buku catatan perjalanan Taufik Abriansyah bersepeda (gowes) ke Merauke. Muncul konflik batin gara-gara bantuan untuk makan ataupun minum kopi. Foto: dokumentasi taufik abriansyah
Taufik Abriansyah memang pernah menjadi wartawan Tempo dan Gatra. Ia pernah kuliah jurnalistik di Fikom Unpad.
Catatan perjalanannya menjadi bukti kuat bahwa masih banyak orang baik di Indonesia. Secara random, Taufik menjumpai banyak orang yang bahkan tiba-tiba menghentikan laju sepedanya, untuk memberikan bantuan.
Bantuan apa pun, dalam perjalanan bersepeda ke Merauke ini tak ada yang ia tolak. Ia memiliki pengalaman yang membuat batinnya berkecamuk, ketika bersepeda ke Sabang sebelumnya.
Ia merasa masih punya bekal cukup, sehingga merasa tak enak jika selalu menerima bantuan. Ia pun menolak tawaran bantuan itu, sampai-sampai ia dianggap menghalangi orang yang hendak beribadah sedekah.