Liputan6.com, Jakarta Jack Grealish pernah menjadi simbol kebanggaan Aston Villa, pemain yang bermain dengan kebebasan penuh dan pesona khas seorang bintang lokal.
Pindah ke Manchester City membawanya ke puncak prestasi, dengan koleksi trofi yang membuktikan keputusannya secara objektif benar.
Namun, di balik itu semua, Grealish kehilangan sesuatu yang dulu membuatnya istimewa, magis yang lahir dari kebebasan dan peran sentral di lapangan.
Kini, bersama Everton, ia berusaha menyalakan kembali api itu, meski waktu terus berjalan dan tantangan semakin berat.
Dari Rekor Transfer Hingga Mesin Trofi
Ketika Manchester City membayar 100 juta pounds kepada Aston Villa pada 2021, Jack Grealish resmi menjadi rekor transfer sepakbola Inggris.
Musim keduanya berjalan gemilang, menjadi starter utama Pep Guardiola dalam perjalanan City meraih treble bersejarah.
Ia tampil dalam 41 laga, mencatatkan 11 assist, rekor terbaik dalam kariernya, dan benar-benar menjadi bagian integral dari mesin kemenangan City.
Namun, musim sebelum dan sesudah momen itu tak seindah yang dibayangkan. Meski tetap berkontribusi, perannya lebih sebagai roda penggerak dalam sistem Guardiola ketimbang bintang yang menentukan jalannya laga.
Ekspektasi publik terhadap “blockbuster” Grealish berubah menjadi gaya “art house” yang lebih tenang dan penuh disiplin taktik.
Total 157 penampilan, 17 gol, dan 23 assist di City menjadi catatan karier yang sulit didefinisikan.
City bahkan melepasnya ke Everton dengan opsi pembelian setengah dari harga awal, sebuah tanda bahwa hubungan ini memang sudah di ujung jalan.
Magis yang Hilang Sejak Tinggalkan Villa
Di Aston Villa, Grealish adalah jantung permainan, otak serangan, dan wajah klub.John McGinn pernah bercanda bahwa tugasnya hanya “memberikan bola ke Jack” karena semua serangan bertumpu padanya.
Di sana, ia menari di antara bek lawan, memamerkan kreativitas tanpa batas, dan menjadi ancaman konstan dari segala sisi.
Musim 2020/2021 menjadi puncak performanya, saat ia merasa paling fit, cepat, kuat, dan percaya diri.
Namun, pindah ke City mengubah segalanya, perannya lebih kaku, lebih terpaku di sayap kiri, dengan kebebasan yang jauh berkurang.
Guardiola mengaku mungkin salah memposisikannya terlalu melebar, meski pernah mencoba memainkan Grealish di tengah pada akhir tahun lalu.
Perubahan itu membuat Grealish lebih sering menjadi penyedia bagi Kevin De Bruyne atau Erling Haaland, ketimbang pencipta momen magis sendiri.
Bagi banyak penggemar, versi “Villa” Grealish yang penuh spontanitas terasa jauh berbeda dengan versi “City” yang lebih terukur.
Tantangan Besar di Everton
Keputusan hijrah ke Everton adalah langkah untuk menghidupkan kembali peran sebagai pemain utama.
David Moyes, meski kerap dicap defensif, punya rekam jejak sukses memaksimalkan pemain kreatif seperti Steven Pienaar, Mikel Arteta, hingga Jarrod Bowen.
Dengan dukungan itu, Grealish diharapkan bisa kembali mengendalikan pertandingan dari sisi lapangan.
Everton sendiri sedang memulai babak baru di stadion megah mereka, mencari sosok pemimpin yang bisa menjadi simbol era baru klub.
Bagi Grealish, ini adalah kesempatan emas untuk merebut kembali sorotan, bukan hanya sebagai bagian dari tim, tapi sebagai bintang utamanya.
Namun, tantangannya berat, mengembalikan naluri bermain yang bebas setelah bertahun-tahun dalam sistem yang serba terstruktur bukan hal mudah.
Ujian besar akan datang tepat tiga hari setelah ia berulang tahun ke-30, saat Everton menjamu mantan klubnya, Aston Villa.