Menjaga kapasitas fiskal demi kesejahteraan tenaga pendidik

10 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Dengan kombinasi strategi fiskal konvensional dan inovasi pendanaan non-APBN, pemerintah berupaya memastikan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik, bukan hanya janji, melainkan agenda yang bisa diwujudkan secara berkelanjutan

Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan oleh potongan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut guru sebagai “beban negara”. Isu ini segera menuai kritik keras, hingga kemudian diklarifikasi dan dinyatakan sebagai hoaks.

Sesungguhnya, yang dimaksud bukanlah bahwa guru adalah beban, melainkan tantangan keberlanjutan fiskal negara dalam membiayai anggaran pendidikan yang porsinya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam kerangka APBN, fungsi pendidikan justru selalu menjadi prioritas. Sejak diberlakukannya amanat 20 persen anggaran pendidikan dari total APBN/APBD, belanja pendidikan Indonesia terus mengalami peningkatan.

Pada APBN 2025, pemerintah mengalokasikan Rp660,8 triliun atau setara 20 persen dari total belanja negara untuk pendidikan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen digunakan untuk membayar gaji, tunjangan, dan berbagai program kesejahteraan tenaga pendidik. Artinya, justru komitmen fiskal pemerintah terhadap kesejahteraan guru dan tenaga pendidik sangat besar.

Karena itu, penting ditegaskan: guru bukanlah beban fiskal, melainkan aset bangsa. Tantangannya adalah bagaimana memastikan tata kelola fiskal dan inovasi pembiayaan pendidikan mampu menjaga keberlanjutan dukungan bagi kesejahteraan guru di tengah ruang fiskal yang terbatas.

Aset strategis

Guru, dosen, dan tenaga kependidikan merupakan pilar utama pembangunan sumber daya manusia. Mereka tidak hanya berperan mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan kompetensi generasi emas 2045. Namun, meskipun anggaran pendidikan begitu besar, persoalan distribusi kesejahteraan masih menjadi paradoks.

Bagi guru ASN, baik PNS maupun PPPK, kompensasi relatif cukup baik. Dengan gaji pokok Rp2,3–5 juta per bulan, ditambah tunjangan profesi, kinerja, dan sertifikasi, total penghasilan bisa mencapai Rp9–10 juta. Angka ini cukup kompetitif untuk negara berkembang, meski masih di bawah rata-rata Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Akan tetapi, lebih dari separuh komponen itu bergantung pada struktur fiskal negara.

Sebaliknya, guru honorer dan tenaga pendidik non-ASN masih menghadapi kesenjangan besar. Banyak yang hanya menerima Rp300 ribu–Rp1 juta per bulan, bahkan guru PAUD nonformal ada yang hanya mendapat Rp95 ribu per bulan.

Dosen kontrak juga menghadapi situasi serupa, dengan honor Rp2–3,6 juta per bulan yang nyaris setara dengan UMR. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa anggaran besar belum sepenuhnya menyelesaikan masalah distribusi kesejahteraan tenaga pendidik.

Tantangan

Kesenjangan kesejahteraan yang masih lebar di kalangan tenaga pendidik sejatinya tidak bisa dilepaskan dari struktur fiskal negara. Ada sejumlah tantangan mendasar yang membuat persoalan ini semakin kompleks.

Pertama, dominasi belanja aparatur sipil negara (ASN) dalam struktur anggaran pendidikan. Lebih dari 60 persen alokasi pendidikan terserap untuk gaji dan tunjangan guru ASN, sementara kelompok guru honorer maupun dosen kontrak nyaris tidak tersentuh secara memadai. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan karena mereka yang berstatus ASN mendapat jaminan penuh, sedangkan yang non-ASN harus bertahan dengan honorarium minim.

Kedua, ruang fiskal yang sangat terbatas, terutama dengan rasio pajak Indonesia pada tahun 2025 hanya mencapai 10,03 persen dari PDB. Dimana hal tersebut masih jauh di bawah standar ideal negara berkembang yang berkisar 15-18 persen, sehingga kemampuan APBN untuk membiayai kesejahteraan tenaga pendidik secara baik dan merata juga menjadi terbatas.

Dalam situasi seperti ini, negara menghadapi dilema besar; amanat konstitusi menuntut 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, tetapi porsi terbesar justru habis untuk belanja rutin pegawai tetap.

Ketiga, kebijakan rekrutmen ASN yang berjalan tertinggal dari kebutuhan. Pemerintah memang sudah membuka jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetapi jumlah formasi yang tersedia masih jauh dari memadai.

Dengan lebih dari 2,3 juta guru honorer yang menanti kepastian, kecepatan rekrutmen yang hanya menyerap sebagian kecil per tahun membuat jutaan tenaga pendidik tetap berada dalam posisi rentan, tanpa kepastian karier maupun kesejahteraan.

Keempat, lemahnya regulasi ketenagakerjaan di sektor pendidikan nonformal. Guru PAUD, pengajar madrasah swasta, hingga instruktur lembaga kursus masih menghadapi kondisi yang memprihatinkan. Banyak dari mereka menerima honor jauh di bawah upah minimum regional, bahkan hanya ratusan ribu rupiah per bulan.

Absennya standar pengupahan yang jelas membuat posisi mereka semakin rentan, padahal kontribusi mereka sangat penting dalam membangun fondasi pendidikan sejak usia dini, hingga pendidikan alternatif.

Rangkaian tantangan tersebut menunjukkan bahwa problem kesejahteraan tenaga pendidik bukan sekadar soal keterlambatan pembayaran gaji atau kurangnya alokasi anggaran. Lebih dari itu, merupakan cerminan dari tata kelola fiskal yang timpang, kebijakan birokrasi yang lamban, dan regulasi yang belum berpihak secara adil kepada semua tenaga pendidik.

Selama ketiga aspek ini tidak dibenahi, kesenjangan akan terus berlangsung dan menjadi penghalang serius bagi cita-cita mencetak generasi emas Indonesia 2045.

Strategi

Untuk menjawab tantangan kapasitas fiskal yang semakin kompleks, pemerintah tidak tinggal diam. Sejumlah langkah strategis telah disiapkan, baik dalam ranah penerimaan negara maupun inovasi pembiayaan di luar APBN. Langkah-langkah ini bertujuan menciptakan ruang fiskal yang lebih sehat, sehingga kesejahteraan tenaga pendidik dapat dijaga secara berkelanjutan.

Pertama, ekstensifikasi pajak. Upaya ini diarahkan untuk memperluas basis pajak dengan menyasar sektor-sektor yang selama ini kurang tergarap. Pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat, meningkatnya peran UMKM besar dalam rantai pasok nasional, serta sektor informal yang menyumbang porsi besar terhadap PDB menjadi sasaran penting.

Dengan memperluas basis pajak ke sektor-sektor ini, penerimaan negara bisa meningkat, tanpa menambah beban signifikan pada wajib pajak yang sudah patuh. Ekstensifikasi pajak juga membantu menciptakan keadilan fiskal karena seluruh pelaku ekonomi berkontribusi, sesuai kapasitasnya.

Kedua, intensifikasi pajak. Pemerintah berfokus pada peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui modernisasi sistem administrasi. Implementasi Coretax 3.0 menjadi tonggak penting karena mampu mengintegrasikan seluruh data perpajakan dengan lebih transparan dan akurat.

Selain itu, integrasi NIK–NPWP akan memperluas cakupan data, sehingga memudahkan identifikasi wajib pajak dan menekan praktik penghindaran pajak. Penegakan hukum pajak yang lebih tegas juga akan menutup celah kebocoran penerimaan, sekaligus membangun rasa keadilan bahwa semua pihak ikut menanggung beban pembangunan.

Ketiga, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selain pajak, negara memiliki sumber penerimaan lain yang tidak kalah potensial, seperti dari sektor sumber daya alam, jasa keuangan, hingga pariwisata.

Sektor-sektor ini dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menghasilkan PNBP yang stabil. Jika optimalisasi berhasil, maka PNBP bisa menjadi sumber pembiayaan alternatif yang menopang fungsi sosial negara, termasuk penyediaan anggaran tambahan bagi kesejahteraan tenaga pendidik di berbagai jenjang.

Keempat, efisiensi belanja negara. Pemerintah menyadari bahwa peningkatan penerimaan saja tidak cukup. Oleh karena itu, efisiensi belanja menjadi strategi penting agar setiap rupiah yang dikeluarkan memberi dampak optimal.

Pemangkasan belanja yang kurang produktif, penekanan kebocoran, serta fokus alokasi pada sektor yang langsung berhubungan dengan pembangunan sumber daya manusia akan membuat anggaran pendidikan lebih efektif. Dengan efisiensi belanja ini, kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga pendidik lain dapat lebih diprioritaskan dibanding sekadar belanja rutin birokratis.

Selanjutnya untuk menjaga kapasitas fiskal demi kesejahteraan tenaga pendidik, perlu dikembangkan inovasi pendanaan non-APBN sebagai bagian inovasi pembiayaan ekonomi, sekaligus juga membuka ruang peningkatan kapasitas fiskal secara berkelanjutan untuk berbagai kebutuhan pembiayaan negara.

Inovasi pendanaan tersebut bisa meliputi beberapa aspek. Pertama, pemanfaatan Dana Abadi Pendidikan (Education Endowment Fund). Dana abadi yang dikelola LPDP selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk beasiswa, tetapi potensinya bisa diperluas untuk menopang kesejahteraan tenaga pendidik. Misalnya melalui skema subsidi tambahan pendapatan, matching fund dengan pemerintah daerah atau perguruan tinggi, program jaminan sosial dan pelatihan, serta beasiswa khusus bagi keluarga tenaga pendidik.

Dengan regulasi yang tepat, dana abadi dapat menjadi penopang berkelanjutan, tanpa membebani APBN tahunan.

Kedua, Public–Private Partnership (PPP) dalam pendidikan. Dunia usaha dapat dilibatkan lebih jauh untuk mendukung kesejahteraan guru. Skemanya bisa berupa kewajiban kontribusi dari perusahaan penerima insentif fiskal, yang sebagian diarahkan untuk mendanai program kesejahteraan tenaga pendidik di daerah.

Mekanisme ini bisa dipadukan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) agar lebih terstruktur dan berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan.

Ketiga, penerbitan social impact bonds. Instrumen keuangan sosial ini memungkinkan pemerintah menghimpun dana dari investor untuk program kesejahteraan guru di wilayah tertinggal.

Investor akan ...

Read Entire Article