Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan kehadiran kecerdasan buatan (AI), dunia tampak semakin terhubung. Namun secara paradoks, kesepian justru menjadi epidemi baru, terutama di kalangan remaja. Anak-anak muda hidup dalam keramaian digital, tetapi banyak yang merasa sendirian, tidak dipahami, bahkan kehilangan arah.
Kesepian hari ini tidak selalu hadir dalam kesunyian. Ia bisa muncul bahkan ketika seseorang dikelilingi oleh suara, notifikasi, dan unggahan. Remaja yang aktif di media sosial bisa terlihat “terhubung”, namun dalam batinnya merasa kosong. Mereka merasa tidak punya tempat yang aman dan nyaman. Inilah bentuk baru dari keterasingan manusia modern—terasing di tengah konektivitas.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), From Loneliness to Social Connection (2025), menunjukkan bahwa antara 17–21 persen remaja global mengalami kesepian. Di negara-negara berpenghasilan rendah seperti Indonesia, angkanya mencapai 24 persen, lebih tinggi daripada negara-negara maju yang berada di kisaran 11 persen. Di tingkat nasional, riset Health Collaborative Center (2024) menunjukkan bahwa 50 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian: 44 persen dalam tingkat sedang dan 6 persen dalam tingkat tinggi. Sementara itu, lebih dari 20 persen siswa SMA di DKI Jakarta mengaku mengalami kesepian akibat tekanan sosial dan penggunaan media digital secara berlebihan (Kompas, 17 Juni 2025).
Zygmunt Bauman, seorang sosiolog asal Polandia, menjelaskan fenomena ini melalui konsep masyarakat cair (liquid modernity). Menurut Bauman, kehidupan modern ditandai oleh hubungan yang cepat berubah, serba instan, dan sulit bertahan. Relasi antarmanusia menjadi ringan dan dangkal, seperti air yang mengalir tanpa bentuk tetap. Media sosial dan platform digital memang memungkinkan koneksi instan, tetapi tidak menjamin keintiman yang sejati. Anak muda bisa memiliki ribuan pengikut, tetapi tetap merasa tak memiliki seorang pun untuk berbagi luka.
Hannah Arendt, filsuf politik kelahiran Jerman, menambah kedalaman analisis dengan membedakan antara kesendirian (solitude) dan kesepian (loneliness). Dalam solitude, manusia bisa berdialog dengan dirinya sendiri; ini penting bagi refleksi dan kematangan berpikir. Namun dalam loneliness, individu merasa terputus dari makna dan dari dunia. Arendt mengingatkan bahwa kesepian semacam ini sangat berbahaya—bisa mendorong seseorang untuk mencari pengganti kedekatan lewat komunitas semu, fanatisme, atau godaan ideologi yang menjanjikan penerimaan instan.
Kini, teknologi AI memasuki wilayah afeksi dan emosional. Beragam platform menawarkan chatbot berbasis suara, teman virtual, bahkan “kekasih digital” berbasis kecerdasan buatan (AI girlfriend). Semuanya dirancang untuk menemani, mendengarkan, dan memberi respons empatik. Penelitian dari Stanford University (2024) menunjukkan bahwa AI companions dapat mengurangi rasa kesepian dalam jangka pendek, terutama bagi pengguna yang mengalami isolasi sosial. Namun, studi lanjutan dari University of Michigan (2025) memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, penggunaan berlebihan justru menurunkan kualitas hubungan manusia nyata dan menumbuhkan ketergantungan emosional semu.
Di Amerika Serikat, CEO Meta, Mark Zuckerberg, bahkan menyebut AI sebagai solusi untuk krisis kesepian di Amerika (Time, 2024). Namun banyak peneliti dan filsuf sosial menanggapi dengan waspada. Bagaimana jika solusi yang ditawarkan hanya memperdalam keterasingan kita? AI mungkin bisa merespons dengan sopan, tapi ia tidak memiliki empati sejati. Ia hanya meniru, bukan memahami. Ia bisa membuat kita merasa “ditemani”, tapi tak benar-benar hadir.
Yang Dibutuhkan: Kehadiran Nyata
Remaja adalah kelompok yang paling rentan dalam situasi ini. Mereka sedang membentuk identitas, membangun makna, dan mencari pengakuan. Ketika pengakuan itu datang dari algoritma, dan bukan dari relasi manusia, maka yang terjadi bukan kedewasaan emosional, melainkan distorsi hubungan. Di sinilah peringatan Bauman dan Arendt menjadi relevan: manusia membutuhkan keterikatan yang nyata, bukan sekadar koneksi virtual. Yang dibutuhkan adalah relasi yang tahan uji, yang memberi makna, dan yang menyentuh dimensi terdalam kemanusiaan kita.
Menghadapi epidemi kesepian, solusi yang kita butuhkan tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga sosial dan spiritual. Kita perlu memulihkan kembali nilai-nilai kehadiran nyata: rumah yang menjadi tempat percakapan dan pemulihan; sekolah yang membangun dialog dan empati; komunitas yang memberi ruang bagi pengakuan dan pertumbuhkembangan diri.
Teknologi, termasuk AI, memang dapat berperan sebagai alat bantu. Namun kita perlu memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan relasi, melainkan mendukungnya. Kita perlu menciptakan lebih banyak ruang untuk Read Entire Article